DIGITAL REALISM

anton01

2 – 18 August 2007, Artists:

•Firly Gardia Nuraini
•Antonius Chris Hardani
•Yona Yunistia
•F. Widiantoro
•Beatrix Hendriani Kaswara

Catatan Kuratorial

DIGITAL REALISM, Realita Digital di Atas Kanvas

Di tengah populernya new media art dalam gelaran seni rupa kontemporer, bisa jadi seni lukis tampak ketinggalan jaman dan tidak fashionable. Namun kenyataan menunjukkan lain, seni lukis tetap eksis dan penting. Barangkali hal ini sedikit mengherankan, sebab seni lukis tidak sejalan dengan perkembangan teknologi informasi—yang menjadi sandaran perkembangan new media art. Tetapi barangkali justru karena karakter anti-tesa seni lukis terhadap new media art yang menjadikan seni lukis tetap eksis. Selain itu, tentu saja posisi penting seni lukis dalam sejarah seni rupa modern juga merupakan modal utama. Kendati pada akhirnya modernisme menyurut, namun seni lukis dapat membebaskan diri dari stigma bangkrutnya seni rupa modern. Posisi sentral seni lukis dalam seni rupa menyebabkan perkembangan konsep seni rupa dengan mudah juga berlaku bagi seni lukis—dan sebaliknya. Hal itu ditunjukkan misalnya dalam seni abstrak, yang dapat berlaku dan diaplikasikan pada beragam kategori seni rupa—tidak hanya pada seni lukis. Generalisasi ini juga berlaku ketika Joseph Kosuth menyatakan bahwa seni rupa modern pada dasarnya adalah konseptual, maka dengan sendirinya hal ini juga berlaku bagi seni lukis, sebagaimana diutarakan oleh Barry Schwabsky, dalam buku Vitamin P,

“Just as abstract art revealed that art had always been, in a way, essentially abstract, so Conceptual Art revealed (or rather reiterated, since it is old idea going back as at least as far as Leonardo da Vinci’s observation that painting is “una cosa mentale”) that all art conceptual, painting included.”

FirlyBDengan pemikiran tersebut, maka seni lukis terbebas dari kemungkinan menjadi wilayah obsolete (usang). Dalam konteks perkembangan seni rupa mutahir yang diyakini bisa berupa apapun dan mengenai apapun, maka dengan serta merta seni lukis menjadi bagian sah di dalamnya—seperti juga segala medium dan kemungkinan lain. Maka, saat ini sungguh tidak relevan mencari pengertian baku dan tunggal mengenai seni lukis. Setiap pelukis dalam era seni rupa kontemporer sibuk mencari ke-unik-kan lukisannya. Seperti lebih lanjut dijelaskan oleh Barry Schwabsky, berbeda dengan para dedengkot seni lukis modern yang lebih mengutamakan upaya mencari jawaban “what painting is”, maka para pelukis kontemporer lebih mengutamakan upaya mencari solusi “problem of making”. Dalam pameran Digital Realism ini para pelukis yang berpameran menunjukkan pentingnya mencari kekhasan dalam metoda melukis. Yang saya maksud dengan metoda melukis, tentu saja tidak semata-mata sekadar proses ketika mereka berhadapan dengan kanvas, tetapi juga bagaimana menetapkan keseluruhan proses menetapkan gagasan dan cara mengeksekusi gagasan, sehingga menghasilkan citraan akhir di atas kanvas. Salah satu hal penting dalam metode melukis para seniman dalam pameran ini adalah keterikatan mereka pada teknologi digital, dalam hal ini software komputer, dalam menghasilkan citraan pada kanvasnya.

yonapairingKarya-karya Fery, Beatrix dan Firly menunjukkan kaitan antara realita digital dengan praktek melukis. Namun berbeda dengan para seniman digital realism Barat, para seniman dalam pameran ini tetap menggunakan teknik melukis konvensional dalam penyelesaian ahir lukisannya. Kesamaannya, para seniman dalam pameran ini juga menggunakan software komputer dalam mengawali karyanya. Selain itu, jika seniman digital realism Barat tidak mulai dengan citraan fotografi, melainkan sepenuhnya menggunakan software (misalnya photoshop) dalam membangun citraan, maka para seniman dalam pameran ini menggunakan foto sebagai awalan. Dengan demikian, pengertian digital realism yang diusung seniman-seniman ini berbeda dengan pengertian digital realism dalam wacana seni rupa Barat, yaitu sepenuhnya menggunakan software dalam mengeksekusi citraan realistis. Karena itu karya-karya digital realism di Barat tampak seperti lukisan realist, terutama photo realist dan super realist. Hal itu berbeda dengan tampilan karya-karya seniman dalam pameran ini yang justru tak tampak seperti foto.

BexGymCitraan yang ditampilkan oleh seniman dalam pameran ini bukan realita kasat mata dalam kenyataan sehari-hari, sebagaimana realisme, tetapi adalah citraan yang tak mungkin muncul tanpa penetrasi dari mekanisme dunia digital. Namun demikian, citraan digital yang memiuhkan atau memutarbalikkan kenyataan telah menjadi citraan yang umum kita temui dalam kenyataan sehari-hari melalui media massa dan budaya populer. Karenanya, bisa dikatakan bahwa hal tersebut telah menjadi realita sehari-hari, terutama di ruang urban. Beatrix, Fery dan Firly cukup tergantung pada software komputer, agak mirip dengan ketergantungan para seniman Photo Realism tahun 70-an di Amerika. Namun tidak berhenti di situ, para seniman dalam pameran ini kemudian mengolah lebih lanjut foto yang mereka pilih menggunakan software komputer untuk menghasilkan citraan yang tidak real. Selanjutnya, citraan tersebut dipindahkan pada kanvas dengan cara yang konvensional.

yona01

Antonius dan Yona memanfaatkan software dan perangkat komputer terutama untuk membuat “sketsa” awal karya-karya mereka. Karya-karya Antonius menampilkan narasi fiksional mengenai penetrasi dan dominasi perangkat teknologi informasi dalam kehidupan masa kini. Menariknya, realita tersebut dibangun tidak melalui perangkat mutahir itu sendiri (misalnya seperti video art) melainkan melalui lukisan dan teknik grafis. Dalam karya kedua seniman ini konteks dunia digital lebih hadir sebagai reprsentasi daripada metode yang digunakan secara lebih mengikat seperti ditunjukkan oleh ketiga seniman lainnya.

Karya-karya yang dipemerkan menunjukkan bagaimana seni lukis dimanfaatkan sebagai upaya de-digitalisasi, atau semacam upaya mempersonalkan kenyataan digital. Hal ini berseberangan dengan teknik melukis para seniman dedengkot photo realist, misalnya seperti yang ditunjukkan Chuck Close, yang berhasil mempertahankan reputasi realist-painting melalui caranya melukis yang tidak mengutamakan representasi subject matter melainkan pada metoda, “In later paintings, drawing and prints he has been at pains to stress the primacy of method over subject matter. Images have been build up using visible grid systems which strip his methodology bare.” Demikian diutarakan oleh Edward Lucie Smith dalam bukunya Art Today. Karena itu, para seniman dalam pameran ini kembali pada metoda melukis konvensional pada saat mereka memindahkan citraan—yang telah mereka olah melalui teknologi digital—ke atas kanvas.

Lukisan-lukisan fery berupa bunga yang terpiuh tampaknya lebih mementingkan metoda daripada persoalan subject matter. Terasa sekali bagaimana pemiuhan merupakan hasil dari tarikan koordinat gambar asal. Sedangkan Beatrix dan Firly tampaknya menempatkan metoda dan subject matter dalam posisi sejajar. Lukisan Beatrix jelas juga mementingkan aspek representasi, dalam hal ini kehidupan malam dalam ruang-ruang urban dan metoda yang dipilih dengan tepat memperkuat hal tersebut. Manusia-manusia malam dan citraan neon light menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Demikian pula dengan citraan anak-anak yang terpiuh melalui refraksi glass box dalam lukisan Firli menunjukkan bagaimana metoda penggambaran subject matter menjadi satu kesatuan makna yang tak terpisahkan. Bagi ketiga seniman ini software computer merupakan keniscayaan metode dalam proses melukis sekaligus realita yang tampil dan terepresentasi dalam kanvas mereka. Pesan yang disampaikan melalui karya-karya Antonius memperkuat kenyataan tersebut, yaitu penetrasi dunia digital dan teknologi informasi dalam kehidupan kita sehari-hari—termasuk dalam dunia seni lukis. Sedangkan karya-karya Yona, mengingatkan kita pada dunia animasi, yang saat ini pun tak lepas dari perkembangan teknologi digital.

Karya-karya dalam pameran ini menegaskan kapasitas die-hard seni lukis. Yang menarik, karya-karya tersebut justru tidak menolak dan menentang kenyataan dan perkembanga teknologi digital, sebaliknya memanfaatkan (sebagai metode gabungan dengan teknik seni lukis konvensional) dan merepresentasikannya. Melalui karya-karya tersebut, kita dapat berasumsi bahwa seni lukis bertahan, makin berkembang dan dihargai justru karena aspek “manusiawi” seni lukis yang dihasilkan oleh tangan para pelukisnya. Tentu saja aspek manual dan ketrampilan ini bukan segala-galanya dalam seni lukis, namun setidaknya hal tersebut menjadi identitas penting seni lukis di tengah mudahnya menghasilkan citraan melalui teknologi digital yang memang menbajiri kehidupan kita sehari-hari. Keprimitifan seni lukis pada akhirnya menghasilkan relasi mutualistis dengan new media art. Itu sebabnya mudah dan sah-sah saja bagi seorang seniman untuk berekpresi dengan dua kemungkinan tersebut, baik secara gabungan maupun terpisah.

Asmudjo J Irianto

Biodata and artist’s works

my_future

Firly Gardia Nuraini
sukabumi/ 23 oktober 1984

Pengalaman Pameran:
2004
“Steal life”,Galeri Soemardja, Bandung.
“Bale Pare art festival”, Kota Baru Parahyangan, Bandung.
2003
“Pameran perempuan”,Galeri Soemarja, Bandung.
“Pameran bersama mahasiswa ITB”, Hotel Sawunggaling, Bandung.
2002
“Inkubasi”, Aula Barat ITB, Bandung.
workshop:
2006
“Workshop wayang” bersama Heri Dono, Galeri Soemardja, Bandung
2004
“Workshop cukil kayu”. Program trienalle grafis 2003, Selasar Sunaryo Art Space
2003
“Workshop Phirukku” bersama Prilla Tania, CCF, Bandung.

Bootopz---100-x-160cm-mix-m

 

 

Digibots---100-x-130cm-mix-

Antonius Chris Hardani
26 Oktober 1983

Pengalaman Pameran:
2004
“Steal life”,Galeri Soemardja, Bandung.
2002
“Inkubasi”, Aula Barat ITB, Bandung.

LAY_OUT_YONA

Yona Yunistia
20 Juni 1984

Pengalaman Pameran:
2007
“Pameran Grafitti Jarum Black”,Plaza Dago, Bandung
2005
“Re:post”, Japan Foundation, Jakarta
2003
“Pameran perempuan”,Galeri Soemarja, Bandung.
2002
“Inkubasi”, Aula Barat ITB, Bandung.

stretching-images-hibiscus3

 

 

 

Stretching-images_adenium2

Feri Widiantoro
25 Februari 1981

Pengalaman Pameran:
2004
“Bale Pare art festival”, Kota Baru Parahyangan, Bandung.
2002
“Inkubasi”, Aula Barat ITB, Bandung.
“Ruparupaingat”,Etalase Rahmatwarsito, Nganjuk.
1997
Pameran kelompok Roda, Gd.Joang, Nganjuk.

couple1

couple2

Beatrix Hendriani Kaswara
Bandung,14 Juni 1984

Pengalaman Pameran:
2007
“Anti Aging”, Yayasan Cemeti, Gaya Fusion art Gallery, Ubud, Bali.
2006
Pameran “Rythem and Passion”, Jogja Gallery, Jogjakarta
Pameran workshop Heri”war” Dono, Galeri Sumardja Bandung
2005
“Re:Post”,Japan Foundation, Jakarta
2004
“Steal life”,Galeri Soemardja, Bandung.
“Bale Pare art festival”, Kota Baru Parahyangan, Bandung.
2003
“Pameran perempuan”,Galeri Soemarja, Bandung.
2002
“Inkubasi”, Aula Barat ITB, Bandung.

Photos:

opening5

 

opening4

 

opening3

 

 

opening2

 

 

8 Responses to “Digital Realism on-line Catalogue”

  1. The Rosidi Says:

    wah! bening-bening yaa

  2. Mochtar NB Says:

    Salut untuk sesuatu yang baru, kapan pameran lagi?

  3. adi Says:

    hebat banget ya, kapan sih buat lagi karya yang lebih bagus


  4. Wah bagus2 dan sangat kreatif ya, kapan ada pameran lagi?


    1. Terima kasih , kami akan segera kirimkan informasi karya seniman lainnya.


  5. Kami juga mengajak pelukis digital untuk mengkomersilkan karyanya untuk market di USA, Eropa, Australia melalui http://www.evodie-art.com.

  6. Edo Abdullah Says:

    Menilik karya-karya ini saya mendapat kesan palukis berupaya ‘memotret hasil’ teknologi digital dan menuangkannya kedalam kanvas. Ini tak ubahnya seperti kalau kita menggunakan kamera,motret moment, dan ini mirip pelukis membuat sketsa (catatan), kemudian menuangkannya kedalam kanvas. Tentu saja dalam prosese penuangan itu akan terjadi eksplorasi,interaksi antara obyek,ide dengan kekayaan pengalaman seni senimannya. Hasilnya sah-sah saja disebut karya lukis. Sementara ada pelukis, yang memandang bahwa teknologi digital sebagai sesuatu yang patut disyukuri, tidak hanya sekedar dipotret, karena hal itu dianggaplebih memberikan berbagai kemungiknan baru dalam eksplorasi ide dan penuangan gagasan serta efek manfaat bagi lebih banyak orang (misalnya: mudahnya duplikasi, sebagaimana karya grafis. Jadi nampaknya yang terakhir itu lebih modernis. Memang kesannya seperti karya industri, namun disitulah letak tantangannya apakah senirupa sanggup mengelaborasi dan tak tergelincir pada komersialisasi semata.

  7. uDin Says:

    wahhh…
    ku juga ingin menciptakan karya
    yang indah

    namun impian itu masih dlm perjuangan
    doakan Yaa..
    saya kagum dengan karya diatas

Leave a reply to Yadi Krisnadi Cancel reply